Tentang ketidakwarasan logika
Aku bermimpi tentang hari itu. hari
dimana pertemuan kita yang pertama kalinya. Kamu tersenyum padaku, kamu
menatapku, lalu—Aku terbangun.
Tidak hanya
sekali, bahkan sudah berkali-kali hingga aku pun telah lelah mengingat seberapa
sering bayangmu hadir. Ini adalah awal mula ketidawarasan logika ku dimulai..
Beberapa kali
pertanyaan selalu muncul dalam pikiranku, tak terkecuali pertanyaan menggelitik
tentang “Andai” lalu apa bedanya dengan seharusnya? Mungkin mereka serupa,
karena sama-sama berisikan sebuah “pengharapan” atau malah sebuah ‘penyesalan’.
Kata itu yang tak pernah ingin aku singung, karena seperti terjatuh lalu luka
kemudian menggertu “Andai aku tidak berlari, pasti tak akan aku terjatuh” atau
sekedar kalimat “Seharusnya aku tak pergi, sehingga aku tak mesti jatuh” lalu apa
gunanya kalimat itu? jika waktu dan keadaan telah merubahnya menjadi bentuk
lampau. Maksudku, sudah menjadi kejadian yang telah terlewati. Usang!
Tidak ada gunanya, buang-buang waktu saja, bukan?
Hei logika! Sadarlah,
apakah perasaan telah menyemprotkan zat-zat yang mampu membuatmu menjadi
seperti ini? Gila!
Ya, andaikan
tidak akan pernah ada kata ‘andai’
Sebuah goresan UNWARAS dari yang mereka sebut waras, logika
Posting Komentar untuk "Tentang ketidakwarasan logika "
Hallo... Terima kasih sudah bersedia mampir di blog saya dan membaca postingan saya. Sempatkan untuk meninggalkan komentar yang relevan dengan isi postingan saya ya sebagai bentuk apresiasi agar saya tetap semangat menulis.
Sekali lagi terima kasih! ♡
Semoga betah mampir di blog saya :))