Monolog Kehilangan
Di luar langit masih mendung, udara dingin yang terlalu menusuk menyentuh tubuhku. Hujan selalu memberikan
kenangan tersendiri untukku. Rintiknya menyimpan banyak tanya dan cemburu.
Hujan diam-diam selalu cemburu kepadaku saat yang berada di sisiku adalah
dirimu, Hujan selalu cemburu saat yang selalu ditatap olehku adalah matamu, dan hujan selalu cemburu melihatmu memayungi tubuhku dengan kedua tanganmu yang pucat karena menggigil kedinginan. Aku
mencintai jujan, bahkan lebih mencintai hujan daripada Kamu, tetapi, mengapa hujan selalu cemburu kepadamu?
Mereka selalu berkata bahwa Hujan dan kehilangan
itu dekat, mereka berdua saling mengikat. Aku tak masalah kalau pun harus
kehilangan hujan, sebab Aku masih memiliki Kamu yang selalu berada di sisiku. Memilikimu di sampingku rasanya sudah cukup bagiku. Padahal aku bukan manusia yang egois. Aku hanya memilih satu nama yang kemudian aku simpan rapi dalam hatiku. Namun, hujan terlalu kejam, terlalu egois hingga ia merenggut dirimu dari
sisiku.
Aku masih ingat dengan jelas. Saat itu, Hujan terakhir yang aku lalui bersamamu. Hari itu, tak ada
senyuman hangatmu yang selalu melengkung indah di wajahmu, tak ada sapaan
hangat, tak ada celotehan hangatmu. Kamu hanya terdiam, kita hanya membisu dan saling bertukar tatap. Aku rasa kala itu, aku dan kamu saling menyimpan tanya di dalam hati kita masing-masing.
"Apakah masih ada cinta yang tertinggal di sudut terdalam hati kita?
Apakah masih ada namaku yang bersemayam
di hatimu? Apakah masih ada rindu?
Apakah masih ada kenangan yang menyatu
diantara kita?"
Hingga kamu beranjak pergi dan akhirnya kita berpisah, tak pernah kutemui jawaban atas
segala tanda tanya yang bergelayut di dalam hatiku ini. Kau pergi, tak pernah kembali lagi.
Hujan mengajarku
tentang kehilangan, tentang bagaimana Aku harus melihatmu untuk yang terakhir
kalinya. Iya, walaupun mungkin suatu saat Tuhan masih mengizinkan kita untuk
bertemu kembali, walaupun Kamu tidak benar-benar pergi dari dunia ini, walaupun
kamu sesungguhnya Ada, tetapi Kamu hanya pergi dari kehidupanku dan entah tak
kembali. Aku merindukanmu seorang diri, bahkan Hujan juga meninggalkan rekam
jejak kenangan kita untuk-ku, katanya, “Biar Kamu tidak kesepian”, tetapi Hujan
tidak sadar bahwa Hatiku terlalu terluka bahkan untuk sekedar mengingat
namanya. Apalagi mengingat tentang kenangan yang ditinggalkan olehnya.
After Rain, Aku menyadari satu hal bahwa
Hujan tidak mesti berbicara tentang patah, meninggalkan-ditinggalkan dan
kehilangan, bahwa sesungguhnya Hujan memberikan sebuah pembelajaran, tentang
arti daripada bertahan dan ketegaran. Seperti kutipan puisi dari sastrawan yang
juga Aku gilai, “Tak ada yang lebih
tabah dari Hujan Bulan Juni, dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon
berbunga itu.”
Kehilanganmu
adalah hal terburuk di dalam kehidupanku, sungguh! Namun, kehilanganmu pun sekaligus membawa
banyak pelajaran berharga untuk-ku.
Aku belajar tentang arti rintik hujan yang pernah Aku lalui
bersama denganmu, tentang wangi aroma tanah basah bercampur wangi khas tubuhmu yang selalu membuatku
candu, tentang jejak-jejak langkah kaki kita di tanah basah yang terekam selepas hujan datang menyapa. Hujan yang membuatku merasakan syukur yang tiada
tara bahwa Tuhan itu Mahabaik, karena setelah hujan Aku masih baik-baik saja, Aku masih bisa tersenyum.
Dengan atau tidak adanya Kamu lagi di sisiku, semua itu tak akan masalah lagi.
Sebab, Aku sudah menemukan alasan lain untuk tetap bersinar setelah Hujan
turun yang sempat memporak-porandakan hatiku kala itu.
-M.O-
Posting Komentar untuk "Monolog Kehilangan "
Hallo... Terima kasih sudah bersedia mampir di blog saya dan membaca postingan saya. Sempatkan untuk meninggalkan komentar yang relevan dengan isi postingan saya ya sebagai bentuk apresiasi agar saya tetap semangat menulis.
Sekali lagi terima kasih! ♡
Semoga betah mampir di blog saya :))