Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck : Kisah Cinta Yang Terbentur Adat
Beberapa waktu yang lalu saya pernah posting bahwa saya berkesempatan untuk hadir pada bedah film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Bedah film itu dihadiri oleh Herjunot Ali dan ada juga casting director filmnya. Tanya jawab yang cukup mengasyikan. Dari bedah film itu saya mendengar bahwa film ini berani untuk mengeluarkan budget yang tak tanggung-tanggung 2 Milyar Rupiah. Dan ya, ditambah sebuah pernyataan yang cukup menarik bahwa kapal dalam film ini dibuat 1 : 1. Otomatis menimbulkan sebuah presepsi yang 'WAH' dalam benak saya.
Dua hari yang lalu saya baru sempat untuk menebas rasa penasaran saya akan film tenggelamnya kapal van de wijck ini. Alih-alih terkesan dan terkagum-kagum terhadap filmnya saya malah ngerasa bosen karena bisa dibilang alur awal film ini lambat. Hingga tiba-tiba saja alurnya berubah cepat seketika. Perkenalan dan pertemuan antara Zainudin dan Hayati hingga mereka terlibat jatuh cinta antara satu dengan yang lain saya kira terlalu cepat. Ditambah lagi beberapa hal yang membuat saya mengerutkan kening saat melihat keluarga Azis yang kehidupannya berkebalikan 180 derajat. Apakah memang daerah yang ditempati Hayati dengan Azis begitu berebeda? Padahal jelas-jelas di tanah sumatera kan? Dan perubahan Hayati yang tadinya gadis desa lugu, polos, berpenampilan sopan setelah menikah dengan Azis berubah total 180 derajat. Agak terasa jomplang sekali saat saya melihatnya. Memang bukan hal yang mudah untuk membuat sebuah karya dalam hal ini film. Saya akui itu. Terlebih membawa label "Film yang diadaptasi dari Novel".
Saya jadi penasaran justru terhadap novelnya karena saya belum pernah baca. Menonton film ini saya jadi mikir berkebalikan, "Kok bisa ya ceritanya jadi fenomenal? Kenapa ya kok bukunya bisa laris manis di pasaran? Apakah kritikan sastra yang ada terhadap buku itu ada pengaruhnya juga?" Dan sederet pertanyaan lain. Saya pernah juga menaruh kekecewaan terhadap film Rectoverso walau ceritanya memang bagus, filmnya juga lumayan tapi tetap saja tidak sesuai ekspetasi saya. Memang sulit menempatkan diri sebagai penonton dan penikmat film sedangkan kamu berangkat dari pembaca bukunya. Tapi lain halnya dengan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, saya belum berkesempatan untuk membaca novel karya Buya Hamka yang fenomenal itu. Barangkali saya akan tambah kecewa jika saya telah membaca bukunya kemudian menonton filmnya.
Judul dengan isi filmnya kurang singkron. Judulnya adalah tenggelamnya kapal van der wijck tapi malah menceritakan kisah percintaan yang terbentur adat. Mana judulnya itu spoiler ending filmnya pula :D
Jika saya boleh jujur dari awal hingga akhir membosankan. Saya hanya cukup terhibur di saat-saat tertentu sepersekian detik hanya saat melihat Muluk dan ekspresi Zainudin :D
Lagipula film ini hanya melulu menceritakan kisah cinta yang terbentur adat, patah hati, pengkhianatan janji, gagal move on, penyesalan, perjuangan untuk move on, dan perbedaan budaya. Hanya itu tidak lebih. Dari awal hingga menjelang akhir saya justru menanti-nantikan kapan sih kapal van der wijck tenggelam? Penasaran karena katanya kapal yang dibuat itu perbandingannya 1 : 1 dan begitu kapalnya tenggelamnya juga hanya sepersekian menit. Saya hanya bisa bengong sambil bergumam, "Udah? Gitu doang?"
Barangkali itu embel-embel itu semua adalah nilai market yang dijual dalam film ini. Entahlah. Dan penyebab tenggelamnya kapal van der wijck dalam film ini pun masih menjadi misteri karena tidak dijelaskan. Terlalu cepat pergerakan alurnya hingga saya bahkan tidak menangkap penyebab. Kalau kata orang sunda mah ujug-ujug weh tenggelam. Ini sih TITANIC-nya Indonesia mhihihi xD
Saya cuma terkesan sama akting para pemainnya, latar tempat yang eksotis juga kerja keras crew-nya yang patut diapresiasi.
Maaf jika saya 'kejam' dalam hal ini tapi sebagai seorang mahasiwa yang berkantong pas-pas-an saya tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan penyesalan saya yang telah merogoh kocek sebesar Rp 35.000 untuk menonton film yang nyatanya membosankan ini (tau gitu mendingan buat beli novel aja xD), sorry to say it. Mungkin akan banyak orang yang tidak sepaham dengan saya. Terserah. Saya tidak peduli toh saya hanya mengungkapkan apa yang saya rasakan. Barngkali ini hanya pendapat pribadi saya saja. Terlepas daripada itu, jika kamu ingin mencoba menangis karena merasa kisah cinta dalam film ini adalah "gue banget" sepertinya film ini perlu untuk kamu tonton. Dan yang masih penasaran silahkan nonton aja. Barangkali pendapat yang kamu miliki berbeda dengan yang saya miliki :D
Satu-satunya pesan moral yang saya tangkap adalah...
Dua hari yang lalu saya baru sempat untuk menebas rasa penasaran saya akan film tenggelamnya kapal van de wijck ini. Alih-alih terkesan dan terkagum-kagum terhadap filmnya saya malah ngerasa bosen karena bisa dibilang alur awal film ini lambat. Hingga tiba-tiba saja alurnya berubah cepat seketika. Perkenalan dan pertemuan antara Zainudin dan Hayati hingga mereka terlibat jatuh cinta antara satu dengan yang lain saya kira terlalu cepat. Ditambah lagi beberapa hal yang membuat saya mengerutkan kening saat melihat keluarga Azis yang kehidupannya berkebalikan 180 derajat. Apakah memang daerah yang ditempati Hayati dengan Azis begitu berebeda? Padahal jelas-jelas di tanah sumatera kan? Dan perubahan Hayati yang tadinya gadis desa lugu, polos, berpenampilan sopan setelah menikah dengan Azis berubah total 180 derajat. Agak terasa jomplang sekali saat saya melihatnya. Memang bukan hal yang mudah untuk membuat sebuah karya dalam hal ini film. Saya akui itu. Terlebih membawa label "Film yang diadaptasi dari Novel".
Saya jadi penasaran justru terhadap novelnya karena saya belum pernah baca. Menonton film ini saya jadi mikir berkebalikan, "Kok bisa ya ceritanya jadi fenomenal? Kenapa ya kok bukunya bisa laris manis di pasaran? Apakah kritikan sastra yang ada terhadap buku itu ada pengaruhnya juga?" Dan sederet pertanyaan lain. Saya pernah juga menaruh kekecewaan terhadap film Rectoverso walau ceritanya memang bagus, filmnya juga lumayan tapi tetap saja tidak sesuai ekspetasi saya. Memang sulit menempatkan diri sebagai penonton dan penikmat film sedangkan kamu berangkat dari pembaca bukunya. Tapi lain halnya dengan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, saya belum berkesempatan untuk membaca novel karya Buya Hamka yang fenomenal itu. Barangkali saya akan tambah kecewa jika saya telah membaca bukunya kemudian menonton filmnya.
Judul dengan isi filmnya kurang singkron. Judulnya adalah tenggelamnya kapal van der wijck tapi malah menceritakan kisah percintaan yang terbentur adat. Mana judulnya itu spoiler ending filmnya pula :D
Jika saya boleh jujur dari awal hingga akhir membosankan. Saya hanya cukup terhibur di saat-saat tertentu sepersekian detik hanya saat melihat Muluk dan ekspresi Zainudin :D
Lagipula film ini hanya melulu menceritakan kisah cinta yang terbentur adat, patah hati, pengkhianatan janji, gagal move on, penyesalan, perjuangan untuk move on, dan perbedaan budaya. Hanya itu tidak lebih. Dari awal hingga menjelang akhir saya justru menanti-nantikan kapan sih kapal van der wijck tenggelam? Penasaran karena katanya kapal yang dibuat itu perbandingannya 1 : 1 dan begitu kapalnya tenggelamnya juga hanya sepersekian menit. Saya hanya bisa bengong sambil bergumam, "Udah? Gitu doang?"
Barangkali itu embel-embel itu semua adalah nilai market yang dijual dalam film ini. Entahlah. Dan penyebab tenggelamnya kapal van der wijck dalam film ini pun masih menjadi misteri karena tidak dijelaskan. Terlalu cepat pergerakan alurnya hingga saya bahkan tidak menangkap penyebab. Kalau kata orang sunda mah ujug-ujug weh tenggelam. Ini sih TITANIC-nya Indonesia mhihihi xD
Saya cuma terkesan sama akting para pemainnya, latar tempat yang eksotis juga kerja keras crew-nya yang patut diapresiasi.
Maaf jika saya 'kejam' dalam hal ini tapi sebagai seorang mahasiwa yang berkantong pas-pas-an saya tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa dan penyesalan saya yang telah merogoh kocek sebesar Rp 35.000 untuk menonton film yang nyatanya membosankan ini (tau gitu mendingan buat beli novel aja xD), sorry to say it. Mungkin akan banyak orang yang tidak sepaham dengan saya. Terserah. Saya tidak peduli toh saya hanya mengungkapkan apa yang saya rasakan. Barngkali ini hanya pendapat pribadi saya saja. Terlepas daripada itu, jika kamu ingin mencoba menangis karena merasa kisah cinta dalam film ini adalah "gue banget" sepertinya film ini perlu untuk kamu tonton. Dan yang masih penasaran silahkan nonton aja. Barangkali pendapat yang kamu miliki berbeda dengan yang saya miliki :D
Satu-satunya pesan moral yang saya tangkap adalah...
"Jangan berjanji jika nantinya tak dapat ditepati. Terlalu mengedepankan ego juga tidak sepenuhnya baik. Jangan menunggu penyesalan datang menghampiri sehingga membuat orang yang kamu kasihi harus pergi untuk selamanya."
banyak yang bilang, jauh banget novel sama filmnya, dengan kata lain mengecewakan katanya sih, tp kalau yg belum baca buku'a mungkin akan bilang bagus. Tapi, saya pribadi belum baca & belum nonton :(
BalasHapusKadangkala emang susah bikin film yang diadaptasi dari novel apalagi yang udah punya penggemar setianya. Saya juga belum baca bukunya dan begitu liat filmnya kecewa sih. Saya malah jadi penasaran dengan bukunya, apa emang lebih bagus atau sama aja :D
HapusBarangkali kamu perlu nonton untuk bisa membandingkannya, siapa tahu pendapat yang kamu punya berebda dengan pendapat saya :D
kritik kaka pas nonton film ini gimana ka?
BalasHapusasap dong ka jawabnya
BalasHapus