Book Review - Pasung Jiwa By Okky Madasari
Judul : Pasung
Jiwa (Apa itu kebebasan?)
Penulis : Okky
Madasari
Designer cover :
Rizky Wicaksono
Tebal : 328
Halaman
Penerbit : PT.
Gramedia Pustaka Utama
Blurb :
Apakah kehendak bebas benar-benar ada? Apakah
manusia bebas benar-benar ada? Okky Madasari mengemukan pertanyaan-pertanyaan
besar dari manusia dan kemanusiaan dalam novel ini.
Melalui dua tokoh utama, Sasana dan Jaka Wani,
dihadirkan pergulatan manusia dalam mencari kebebasan dan melepaskan diri dari
segala kungkungan. Mulai dari kungkungan tubuh dan pikiran, kungkungan tradisi
dan keluarga, kungkungan norma dan agama, hingga dominasi ekonomi dan belenggu
kekuasaan.
***
Adalah Sasana
yang ‘terperangkap’ dalam hal-hal yang sudah menjadi sebuah keharusan bagi
dirinya, mengikuti berbagai aturan yang sebenarnya bertolak-belakang dengan
hatinya. Ia dipaksa mencintai sesuatu yang bukan menjadi kehendaknya, melainkan
kehendak Ibu dan Ayahnya. Justru Sasana seperti menemukan sesuatu yang baru dan
menarik saat mendengarkan lagu dangdut bukan lagu klasik atau berkelas lainnya
yang ‘dipaksa’ diperdengarkan oleh orang tuanya. Disamping itu, Sasana begitu
menyayangi Melati—Adiknya namun disisi lain Sasana menyimpan suatu perasaan iri
pada Melati. Ia ingin menjadi bebas seperti Melati, ia ingin menjadi seperti
Melati—sosok perempuan yang manis, cantik dan begitu lembut. Sasana membenci
tubuh laki-lakinya terlebih saat ia menerima perlakuan kasar dan tidak
menyenangkan lainnya oleh teman-teman SMA-nya. Pergejolakan demi pergejolakan
harus Sasana hadapi. Demi sebuah jawaban atas pertanyaan yang selalu hadir
dalam kehidupannya. Tentang pencarian jati diri dan jawaban atas arti
kebebasan. Di tengah pencariannya, Sasana bertemu dengan orang-orang baru saat
sedang berkuliah di Malang. Cak Man dan Cak Jek namanya, Cak Man—seorang
pemilik warung kopi tempat dimana awal mula Sasana menemukan dirinya yang lain.
Lewat Cak Jek pikiran dan hati Sasana mulai tergerak untuk mengambil sebuah
pilihan. Pilihan yang dapat mengantarkan Sasana pada kebahagiaan. Bersama Cak
Jek, Sasana mulai menjelma menjadi sosok Sasa. Lewat Sasa, Sasana menemukan
dunia baru. Ia mulai menemukan kebahagiaanya; menyanyi dangdut, bergoyang,
menjadi biduan. Sasana dan Cak Jek mencari ‘kehidupan’ mereka, mengamen dari satu
tempat ke tempat yang lainnya tak lain untuk menyalurkan hasrat yang ada di
dalam hati mereka berdua. Di dalam perjalanan mereka berdua, ada orang-orang
baru yang bermunculan seperti Memed dan Leman serta orang-orang Marjinal. Ada
begitu banyak konflik pelik dalam hidup Sasana dan Jek yang menuntut mereka
untuk dapat menyelesaikannya dengan baik. Demi mencari sebuah kebebasan, ya
kebebasan jiwa dan hati!
Sedikit cerita,
novel ini sebenernya sudah ada bersama saya sejak Desember 2013 lalu. Novel
yang berhasil saya dapatkan langsung dari penulisnya lengkap dengan tanda
tangannya karena saya berhasil menjawab pertanyaan dalam sebuah acara seminar
yang diadakan di Kampus saya yang menghadirkan Okky Madasari sebagai tamunya. Dan
sejak saat itulah, saya baru benar-benar mengenal Okky Madasari. Mbak Okky ini
menjadi pemenang dalam Khatulistiwa Literary Awards 2012 lalu. Dan dari acara
seminar itu saya baru tahu bahwa memang Mbak Okky selalu menganggkat
masalah-masalah sosial dalam setiap tulisannya. Entrok, 86, Maryam dan yang
terakhir Pasung Jiwa sama-sama memiliki benang merah yang sama yaitu tentang
masalah sosial yang terjadi di masyarakat walau dari segi pengemasannya tentu
berbeda. Pasung Jiwa adalah novel pertama karya Mbak Okky yang saya baca.
Novel Pasung Jiwa
ini adalah buku kedua setelah Tarian Bumi-nya Oka Rusmini yang membuat saya ikut
berpikir tentang apa maksud serta tujuan ceritanya; ikut menyelami karakter
tokoh-tokohnya. Dan ya, keduanya sama-sama menyelipkan kritikan di dalam ceritanya.
Bedanya, Tarian Bumi mengangkat tema yang lebih ke arah budaya sedangkan Pasung
Jiwa lebih ke masalah sosial mengenai isu-isu sosial yang ada di masyarakat. Dari
segi cerita tentu Pasung Jiwa dan Tarian Bumi sama-sama memiliki magnet yang
kuat.
Di dalam Pasung
Jiwa dengan beraninya Mbak Okky menggandeng tema tentang transgender yang dihadirkan lewat sosok Sasana. Selain itu, ada
juga kritikan-kritikan sosial yang diwakilkan oleh tokoh-tokoh Jaka Wani (Jek),
Memed dan Leman, orang-orang Marjinal, Benua, Marsita, para buruh, Elis, Kalina.
Saya bisa bilang bahwa novel ini begitu pelik dengan konflik yang dihadirkan di
dalamnya. Tidak hanya soal masalah transgenre
tapi merembet ke masalah lainnya seperti tentang buruh, anak-anak jalanan, dan
orang-orang marjinal yang seringkali masih dipandang sebelah mata oleh sebagian
orang, dan masalah sosial lainnya. Di dalam Pasung Jiwa semua dibeberkan secara
blak-blakan, konflik-konflik pelik yang terjadi begitu menghujam. Saya cukup spechless, entah harus berkomentar apa
:D
Pasung Jiwa
mengambil setting tahun 90-an. Saat masih terjadi kerusuhan dimana-mana, saat
rakyat sedang susah akibat krisis moneter. Sudut pandang yang digunakan dalam
novel ini adalah sudut pandang orang pertama. Sasana dan Jaka Wani bergantian
menceritakan kisah mereka masing-masing dari sudut pandangnya.
Beberapa kalimat
favorite bagi saya :
“Kita kerja keras
cukup buat makan. Sementara disana ada banyak orang yang tinggal
ongkang-ongkang duitnya miliaran,” kata yang lainnya.—orang-orang Marjinal (Hal.
66)
”Sampeyan mungkin tidak ada urusan sama
negara. Tapi negara yang punya urusan sama sampeyan.”
—orang-orang Marjinal (Hal. 67)
Gitar, kecrekan,
dan ketimpung mereka berbunyi. Lalu
mereka menyanyi bersama-sama. Lagu yang belum pernah kudengar.
Kami rakyat jelata
Peras keringat untuk makan
Kalian pejabat negara
Rampok sini, rampok sana
Rakyat tak lagi sabar
Semuanya sudah lapar
Beri kami keadilan
Atau kami turun ke jalan
Ayo semua yang lapar
Jangan lagi hanya diam
Tanah ini milik kita
Negeri ini kita yang punya
(Hal. 67-68)
“Dalam pikiranku
ini, sudah ada tempelan-tempelan bagaimana seharusnya hidup yang benar, yang
sama kayak hidup banyak orang,” jelasnya. “Pikiran yang Cuma tempelan ini lalu
jadi penjajah tubuhku sendiri.” – Banua (Hal. 138)
“Jika kebebasan
itu ada, aku tak akan pernah ketakutan lagi,” jawabku. “Kebebasan baru ada jika
ketakutan sudah tak ada.” –Sasana (Hal. 144)
“Tak ada jiwa
yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang
bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian
semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian
berbeda.”—Marsita (Hal. 146)
Kritikan-kritikan
sosial diselipkan lewat tokoh-tokoh yang ada, lewat rentetan kejadian yang ada.
Seperti tentang kehendak orang tua yang tak seharusnya dipaksakan pada anaknya,
tentang keadilan yang hanya dirasakan oleh sebagian orang, tentang orang-orang
yang merasa diri mereka ‘paling benar’ dan menghakimi orang lain hanya lewat
sudut pandang mereka saja. Sebenarnya novel ini juga membahas tentang sebuah
pilihan yang harus diambil oleh seseorang. Pilihan tentang dirinya sendiri,
pilihan untuk menjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam diri. Dan pilihan
untuk membebaskan diri kita dari ‘pasung jiwa’ yang membelenggu. Pilihan yang
didasarkan dari hati nurani bukan dari perkataan atau pemikiran orang lain.
Walaupun
endingnya tidak begitu mengesankan karena saya berharapnya sih bisa lebih wow
sebagai penutup cerita atas konflik-konflik pelik yang sudah terjadi. Tapi
novel ini cukup memberikan banyak pengetahuan baru. Terlebih masalah sosial
yang ada. Sangat mengaduk-ngaduk perasaan saya. Saya begitu menaruh simpati
pada tokoh-tokoh yang ada. Tidak mengecewakan. Dan cukup memuaskan bagi saya :D
Tapi saya jadi
penasaran sama kelanjutan hidup tokoh-tokoh lainnya dalam buku ini, seperti apa
kabar ya si Memed dan leman? Apa kabar ya Cak Man? Apa kabar ya Elis? Apa kabar
dengan Kalina, Sarti serta buruh-buruh yang lain? Dan apa kabar Sasa dan Cak
Jek? Apakah mereka berhasil menemukan kebebasan sejati mereka? Apa kabar juga
Ayah, Ibu serta Melati—Adik sasana ya? Entah kenapa saya malah jadi penasaran
sama kelanjutan hidup mereka semua :D
Tentu, saya
menyematkan 4 bintang untuk novel ini. Novel yang saya rekomendasikan untuk
kamu yang tertarik dengan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat
kita ini.
aku pengin baca novel ini ih bahas tentang bullying gitu kan ya
BalasHapusCeritanya bagus mbak :) terima kasih sudah berbagi
BalasHapus