Terjebak Kelabu
Ia pergi. Seorang
diri. Ia berlari berusaha menghentikan waktu namun waktu tak pernah berhenti
terpaku pada suatu titik tertentu. Ada kalanya perjumpaan tak mesti berujung
panjang. Ada kalanya ia merasa letih untuk berlari. Yang terjadi adalah
kesakitan yang terlalu menusuk ke dalam dada. Semakin dirasa, semakin rasa itu
menghujam dan berujung perih.
Ada kalanya yang hanya dapat dilakukan adalah menerima,
entah untuk kemudian mengikhlaskan lalu melepaskan atau sekedar mengalah pada
waktu dan keadaan hanya untuk sejenak. Pernah suatu ketika, ia memaksa untuk
bertahan pada suatu titik persimpangan yang tak berujung haluan. Namun yang
terjadi adalah sebuah rasa yang tak diinginkan. Perlukah mengedepankan egoisme
sendiri? Ia hanya dapat melepaskan. Tak peduli sesakit apa rasanya, tak peduli
seberat apa rasanya. Kebersamaan sudah tiada artinya kembali saat sudah tak ada
lagi kebahagiaan yang dirasakan. Daripada harus memaksakan? Bukankah hakikat
kebahagiaan adalah tiada sebuah kebohongan?
Perasaan itu hanya bisa dirasakan, siapa peduli bahwa ada
orang yang mengikrarkan perpisahan diantara adanya kebersamaan tapi nyatanya
pedih yang kemudian dituai? Siapa peduli pada pengorbanan perasaan seseorang
jika memang hanya sebuah bentuk kesia-siaan? Tak ada yang salah dan patut
disalahkan, hanya takdir dan jalan kehidupan yang mesti dipegang.
Walaupun menyakitkan, siapa yang akan tahu jika memang
kebenaran perasaan yang akan menampakan wujudnya?
Penyesalan pasti menghadang, tak peduli sekuat apa
keegoisan. Jika sudah melepaskan, seharusnya beban menghilang perlahan.
Semoga, keegoisan tak melulu berujung kelabu...
Karena tak
ada hujan yang abadi, kelak, hujan akan mempersilahkan pelangi untuk menampakan
keindahannya. Sekarang ataupun nanti, Ia takan pernah lelah menanti...
Kota Hujan, 22 Maret 2014
Hiks sedih dan menyakitkan tapi karakter tulisannya bicara tentang ketegaran
BalasHapus