15 Mei tahun ketiga
Tiga tahun yang lalu mungkin saya masih sangat peduli dengan apa yang
terjadi pada 15 Mei, bukan, bukan tentang kerusuhan Mei yang meninggalkan duka
mendalam bagi sebagian penduduk Indonesia. Tapi pada tanggal 15 Mei sendiri
selalu terjadi kerusuhan dalam diri saya. Hati dan pikiran saya selalu
bersitengang dengan hebat! Dan itu sungguh memusingkan, ingin rasanya saya
teriak. Mencopot pikiran dan hati saya barang sejenak saja. Beberapa kali saya
berharap pada semesta semoga tanggal 15 Mei saya menjadi amnesia mendadak. Ternyata
melupakan itu jauh lebih sulit daripada melepaskan. Dan memaksa diri untuk lupa
pun begitu menyakitkan. Berlebihan? Memang. Saya akui itu.
Tahun selanjutnya, 15 Mei tahun kedua. Saya sempat nyaris berhasil amnesia
sehari saja. Harapan saya akhirnya terkabul! Tapi 15 Mei tahun kedua nyatanya
lebih berat daripada tahun pertama. Bukan karena saya telah melupakan, atau
memaksa diri saya untuk lupa. Tapi saya pura-pura lupa bahwa ada tanggal 15 Mei
masih dalam kalender. Dan sialnya, saya masih mengingat. Dan ego saya masih
ada.
Dan pada tahun ini, 15 Mei. Saya berhasil lupa! Sialnya, saya kembali
mengingatnya. Tapi dengan keadaan yang berbeda. Tidak lagi memarahi diri saya
sendiri, “kenapa harus ingat?” ataupun memaksa diri saya sendiri untuk lupa. Atau
untuk sekedar pura-pura lupa dengan 15 Mei, tapi di tahun ini saya benar-benar
sudah lupa. Saya sekedar mengingat 15 Mei ini hanya selewat angin. Di tahun
ini, saya sudah menemukan jawaban atas pertanyaan saya tahun-tahun sebelumnya, “kenapa
harus inget sih? Kenapa nggak lupa aja?” saya menyadari yang berbicara demikian
adalah sisi lain dari diri saya yaitu ego saya. Saya tahu ego saya terlalu
besar untuk sekedar menerima sebuah kenyataan. Saat itu posisi saya memang
serba sulit, ya, terlalu perih luka hati saya karena perpisahan itu dan
seharusnya saya juga menyadarinya dan lalu menerimanya saja. Di tahun ketiga
ini, Saya jadi tahu rasanya berproses tuh bagaimana, dan saya juga tahu waktu
telah mengembalikan segalanya. Menyembuhkan semua, ya, semua tanpa terkecuali. Dua
tahun terakhir hati saya perih sekali bahwa saya harus bertahan, dan lebih
memilih ego saya sendiri. Padahal nyatanya saya hanya ingin sekedar mengingat
lalu mengucapkan, “selamat”. Terlalu menyakitkan memang mengingat sesuatu dari
orang yang bahkan mungkin sudah ‘melupakan’ segala remeh-temeh tentang saya.
Kata siapa saya gagal menerima? Kalau saya gagal, nggak mungkin hingga
detik ini saya masih bisa merangkai cerita kehidupan saya sendiri. Saya tahu,
Tuhan tahu mana yang terbaik bagi saya. Saya bahagia atas pilihan saya sendiri.
Mungkin terkesan ‘belagu’, saya memang ‘belagu’ karena saya belajar ‘belagu’
dari kamu :p
Hallo kamu, di tahun ketiga ini. Dengan segala
penerimaan yang telah saya dapatkan dari sebuah kesakitan yang pernah ada. Karena
ego saya telah luntur, ucapan “selamat” yang sudah saya pendam selama tiga
tahun lamanya. Sengaja saya simpan untuk saya ucapkan jika saya benar-benar
telah kuat untuk mengucapkannya dengan penuh kelegaan.
Selamat hari lahirmu, selamat menyongsong
kedewasaanmu. Kamu sendiri yang tahu apa terbaik bagimu. :)
ini, apakah tentang patah hati?
BalasHapus