Salam Rindu Untuk Eyangku
Aku selalu merasa semangat dan diliputi suka cita kala idulfitri hampir tiba. Walau tidak jauh, tapi rasanya tetap senang bisa mudik ke rumah eyang. Setiap tahunnya, aku dan mama berangkat mudik maksimal H-1 lebaran. Sementara bapak menyusul belakangan di hari H, biasanya setelah salat ied. Itu pun janjian bertemu di dekat makam. Biar sekalian ziarah bersama ke makam kakakku dan sodara yang lain. Setelah itu sama-sama pulang ke rumah eyang.
Durasi perjalanan mudik yang mesti ditempuh hanya sekitar dua jam pun tak menyurutkan semangatku datang ke kampung halaman, tempat di mana aku dilahirkan. Sekali pun dulu cukup sering berkunjung, sebulan sekali pasti kumpul keluarga. Seringnya acara kumpulnya dilakukan di rumah eyang, tapi tetap saja momen mudik saat menjelang idulfitri itu terasa berbeda.
Selain mudik, aku dan keluarga juga punya tradisi khas lain. Di malam takbiran, biasanya mama eyang dan mamaku rutin mengunjungi pasar kaget yang bisa dijangkau sekali naik angkot. Pasar kaget ini biasanya ada di pinggir jalan tak jauh dari Pasar Agung. Sebagian jalan menuju pasar selalu ditutup sehingga angkot dialihkan lewat jalan lain. Di titik penutupan jalan, biasanya Aku dan keluargaku turun dan berjalan kaki. Para pedagang menggelar lapak mereka di pinggir jalan. Ada berbagai macam penjual, mulai dari penjual pakaian, makanan, tas, sendal, sepatu, hingga kembang.
Aku dan adik sepupu pasti rutin ikut. Padahal biasanya aku tidak betah berada lama-lama di dalam keramaian atau kerumunan karena sering merasa cepat lelah dan pusing. Salah satu tradisi malam takbiran itu jadi pengecualian rupanya. Rasa senangnya itu mengalahkan rasa lelah kurasakan.
Personel tetap acara jalan-jalan di malam takbiran selalu sama. Mama, mama eyang, aku, tanteku, dan dua adik sepupuku. Kami berangkat selepas maghrib, sekadar jalan-jalan dan biasanya mama dan mama eyang senang berburu barang-barang murah. Biasanya yang harganya murah yang menggelar lapak di luar bangunan Pasar Agung.
Sudah menjadi kegiatan rutin di tiap tahun, aku sampai-sampai sudah bisa tau ciri khas penjualnya. Mamang penjualnya menggelar lapak di pinggir jalan dalam keadaan gelap atau remang-remang.
Hal ini menurutku menarik karena membuat pembeli harus pintar-pintar memilih saat barang yang dijual dicampur dengan barang yang kualitasnya kurang baik juga. Selain itu juga barangnya pun terbatas, sistemnya jadi cepat-cepatan. Jangan pernah biarkan barang incaranmu lepas dari tangan. Sekalinya kamu ragu dan menaruh kembali barang itu di tumpukan, secepat kilat ada tangan pembeli lain yang akan mengambil itu dan membelinya.
Mamaku pernah sekali menyesali itu. Mama ragu dan menaruh sebentar kerudung incarannya, tapi hitungan menit sudah berada di tangan orang lain.
Mama dan Mama eyang tentu yang paling semangat. Biasanya yang jadi incaran itu tas, kerurung, dan seprai. Mama dan mama eyang dengan tekun memilih berbagai barang. Mengecek satu persatu, apakah produknya kualitasnya baik dan masih layak beli.
Pulang saat tangan sudah penuh barang belanjaan atau pun karena sudah merasa lelah berkeliling dan tak kunjung mendapat barang incaran.
Di hari H lebaran tiba, di sebelum subuh keluargaku sudah heboh karena mulai mengantre giliran mandi. Di rumah eyang hanya ada satu kamar mandi, hehe. Selain itu, alasan lainnya adalah jam 6 pagi sudah harus siap menuju ke lapangan tempat salat ied diadakan. Walaupun lapangannya berada persis di samping rumah eyang, tapi tetap saja harus gerak cepat lebih awal agar tetap kebagian tempat. Mama eyang selalu jadi yang pertama siap karena harus menggelar tikar plastik untuk menandai tempat bagi keluarga.
Selepas salat ied, salah satu momen yang aku suka adalah acara sungkeman dan bermaaf-maafan. Bapak eyang dan mama eyang duduk di kursi, sementara anak-anak, para cucu dan cicit berbaris, bergantian menunggu giliran. Posisi berbarisnya pun diurutkan dari yang paling tua hingga ke yang paling muda. Rasanya haru dan hati terasa jauh lebih ringan setelah salim, berjabat tangan, salam-salaman dan saling berpelukan.
Acara hari raya berlanjut dengan pembagian uang thr kepada anak-anak (dan tentu saja aku sudah lama sekali tidak mendapat jatah, terakhir itu SMP mungkin ya. Ehehe). Setelah itu aku dan keluarga yang lain menikmati hidangan khas hari raya yang sudah tersedia di meja makan. Ada ketupat, sayur labu siam, rendang dan kentang balado. Bebas memilih mana yang disuka oleh masing-masing orang.
Aku selalu memilih ketupat, rendang, dan kentang balado. Aku suka sekali kentang balado. Masakan mama eyang selalu terasa lezat, sesederhana apa pun itu. Aku selalu suka sambal buatan mama eyang.
Selesai makan, aku dan beberapa keluarga akan silahturahmi ke tetangga sekitar atau tetangga yang datang silahturahmi ke rumah eyang karena eyang jadi yang tuakan di daerah sana. Rata-rata para sepuh di daerah sana sudah banyak yang berpulang. Selain itu karena memang eyang sudah tidak kuat jalan berkeliling menyambangi satu persatu rumah. Padahal sewaktu masih bugar dulu, eyang selalu mampir ke beberapa rumah tetangga terdekat.
Setelah semua momen silahturahmi itu, aku dan beberapa anggota keluarga berangkat ziarah ke makam. 'mengantarkan' kembali keluarga yang telah berpulang ke rumah keabadian mereka setelah sebelum puasa mereka datang berkunjung. Entah berawal dari mana, tapi keluargaku punya keyakinan seperti itu. Keluargaku pasti rutin ziarah saat sebelum puasa dan pasti di hari lebaran juga tanpa sekali pun absen.
Setelah semua tradisi yang wajib itu dilaksanakan, biasanya berlanjut ke acara bebas. Mengobrol bersama sesama keluarga, sementara anak-anak kecil bermain bersama dan pesta mie ayam bakso sambil meminum soda atau sirup. Ada juga yang mencicipi kue dan juga mencoba manisan kolang-kaling yang diambil dari kulkas.
Setiap tahun tradisi itu selalu dilakukan oleh keluargaku. Namun, lambat laun momen menjelang lebaran jadi berbeda. Saat situasi dan kondisi sudah tidak lagi sama.
Maret tahun 2020 pandemi datang. Rasanya semua tradisi itu lenyap begitu saja. Segala hal terasa jadi berat dan melelahkan. Aku sendiri merasa tak banyak meminta hal yang muluk-muluk selain berdoa semoga aku dan keluargaku terus diberi kesehatan dan mampu bertahan hidup di situasi yang serba tidak terduga. Berbagai pembatasan sosial mulai diterapkan dan mudik pun jadi sesuatu yang mulai dirindukan.
2021 jadi tahun kedua merasakan hari raya dalam suasana pandemi dan dua tahun juga merasakan lebaran dengan kondisi bapak eyang yang hanya bisa tiduran di kasur. Biasanya lebaran di tahun-tahun sebelumnya, Bapak Eyang masih bisa duduk dengan baju koko, sarung, dan pecinya. Sementara mama eyang duduk di sampingnya. Eyang duduk santai menunggu anak, cucu, dan cicitnya untuk sungkeman dan bermaaf-maafan.
Momen lebaran 2019 di rumah eyang |
Lebaran 2019 di rumah eyang |
Aku ingat momen itu masih terjadi terakhir di lebaran pada 2019 silam. Kehebohan berkumpul bersama yang benar-benar sedekat itu. Momen lebaran 2019 akhirnya jadi momen yang paling dirindukan.
***
Jika membicarakan tentang bapak eyang, perasaanku selalu diliputi rasa sayang yang besar. Aku sudah menganggap bapak eyang seperti bapakku sendiri. Sosoknya hangat, bersahaja dan sangat mengayomi. Tidak pernah marah pada anak dan cucunya. Bapak eyang selalu damai dalam kesabarannya. Benar-benar figur seorang ayah yang sangat bisa diandalkan dan selalu memberi petuah bijak yang menenangkan. Tak heran jika Bapak Eyang sangat dihormati dan disayangi oleh anak-anak dan cucunya.
Sebagai cucu, aku jarang sekali melihat bapak eyang marah. Namun, marahnya orang sabar memang jauh lebih menakutkan ya?
Pernah suatu waktu kenakalan salah satu cucunya sudah tidak dapat terbendung lagi. Padahal cucu yang satu ini adalah cucu kesayangan bapak eyang. Semua orang yang menyaksikan kala itu hanya terdiam. Seingatku itulah kali pertama dan terakhir kali aku melihat bapak eyang marah.
Saat aku masih kecil, bapak eyang masih sangat gagah. Dulu, beliau sering sekali pergi berkunjung ke rumah dan menginap selama lima hari penuh. Kemudian akan pulang di hari Sabtu dan akan kembali lagi di Senin pagi seminggu kemudian. Sosoknya yang ramah membuat para tetangga di rumahku pun jadi akrab dengan bapak eyang. Hingga kini sesekali mereka masih kerap bertanya tentang kabar bapak eyang. Lalu merasa penuh syukur saat mengetahui bapak eyang sehat wal afiat.
Kenangan bersama bapak eyang banyak sekali. Namun, ada satu kenangan yang masih aku ingat dengan jelas.
Saat aku masih kecil, setiap selepas maghrib, bapak eyang menonton tv sambil menunggu azan isya. Dengan pakaian andalannya, kaus polos dan sarung. Aku sering menemani bapak eyang menonton tv. Tak jarang hingga ketiduran. Bapak eyang membangunkanku dan menyuruhku untuk pindah ke kamar agar tidurku jauh lebih nyaman.
Lalu setiap pagi, bapak eyang pun mengajak aku dan adikku untuk jalan pagi sekaligus berburu sarapan di warung belakang rumah. Kesukaan bapak eyang adalah ketan putih yang di atasnya berbalut kelapa parut. Rasanya gurih dan sedikit manis.
Kadang aku merasa waktu berlalu begitu cepat. Aku tumbuh dewasa dan bapak eyang pun mulai semakin menua.
Sosok yang dulu gagah, kini mulai semakin renta dimakan waktu yang terus bergulir.
Bapak eyang kini sudah tidak bisa berjalan-jalan dengan bebas seperti dulu. Padahal jalan kaki adalah hobi bapak eyang, selain pergi memancing bersama kawannya. Sudah masuk tahun kedua bapak eyang hanya bisa berbaring di tempat tidur dan sesekali duduk di kursi yang tak jauh dari tempat tidur. Memilih lebih banyak tidur dan mendengarkan dibandingkan dulu sibuk mengobrol bersama. Atau sekadar menanyai satu persatu cucunya tentang perkembangan hidup masing-masing.
Pernah kulihat satu momen yang membuat hatiku menghangat. Pemandangan yang kusaksikan jauh lebih romantis daripada drama korea mana pun.
Bapak eyang tidak bisa jauh dari mama eyang. Harus selalu ada mama eyang di samping bapak eyang. Setiap tidur pun harus memegang erat tangan mama eyang. Betapa besar rasa sayang yang dimiliki bapak eyang hingga hal sederhana seperti itu terasa begitu menghangatkan hati. Cinta sejati itu benar-benar nyata adanya.
***
Aku merasa eyangku seperti pilar, yang senantiasa membuat keluarga tetap kokoh terjaga kekompakannya. Rumah eyang selalu jadi alasan aku dan keluarga untuk pulang tiap hari raya tiba. Walau bukan di luar provinsi, hanya lintas Bogor - Depok yang jarak tempuh hanya dua jam perjalanan, tetapi itu selalu membuat bahagia di hati. Setiap tahun momen itu selalu terasa paling dinanti. Terlebih, semakin terasa suka citanya saat hari raya tiba.
Sudah tahun kedua pandemi membuatku merasa sangat sedih. Namun, dia datang juga membuatku belajar untuk lebih memaknai kebersamaan bersama orang-orang yang kusayang. Dulu mungkin aku merasa acara kumpul keluarga hanya acara. Datang, seru-seruan, foto-foto, lalu pulang. Namun, siapa yang menduga jika akhirnya aku merana karena rindu saat tidak bisa berkumpul bersama keluarga dan melakukan serangkaian tradisi khas lebaran. Mudik, salat ied, silahturahmi, ziarah, berkumpul bersama keluarga besar itu menjadi terasa benar-benar berarti. Bukan hanya sekadar rutinitas tiap tahun yang berlalu begitu saja tanpa arti.
Sedih sekali hanya bisa sering menyapa lewat video call saja sementara bapak eyang selalu ingin rumahnya ramai. Saat keluarga besar berkumpul di rumah eyang, khususnya di hari raya, bapak eyang selalu merasa bahagia. Hal terberat saat tiba waktunya pulang, bapak eyang selalu merasa sedih. Seperti tidak rela melihat anak cucunya pulang ke rumah masing-masing.
Sudah dua tahun ini, semenjak bapak eyang lebih banyak menghabiskan waktu hanya tiduran di kasur, beliau sering merasa kesepian dan mudah bosan.
Di beberapa kesempatan video call bapak eyang sampai pernah menangis karena hal itu. Bapak eyang ingin sering dikunjungi anak-anak dan cucunya.
Walau Bapak eyang sekarang memang sudah pikun. Sering kesulitan mengenali anak-anak dan cucunya. Namun, aku yakin jauh di dalam lubuk hatinya, rasa sayang pada keluarga tidak pernah berubah dan hilang. Rasa itu terus menetap abadi di sana.
Semoga Allah masih meridai kedua eyangku diberi umur panjang dan sehat agar keluargaku bisa lebih banyak dan lebih sering menghabiskan waktu bersama. Meskipun tidak harus menunggu hanya saat hari raya tiba.
Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti tema 'Mudik dalam Tulisan' yang diselenggarakan Warung Blogger.
Aku juga sedih lebaran hanya bisa VC mbak. Udah gitu kadang cuma cepet banget karena anak2 minta perhatian. Smg bisa segera mudik
BalasHapusMaaf lahir batin juga ya Mbak.
BalasHapusYang sabar sekeluarga ya aku pun ngerawat mertua yang dah mulai pada pikun dan sakit. Semoga kita semua dikuatkan
Semua tradisi saat lebaran jadi terasa lekat di hati kala kita tak bisa mudik selama dua tahun ya, Mbak. Biasanya terasa remeh saat jalan-jalan ke pasar kaget, nonton tivi bareng eyang, dan sebagainya. Tapi saat itu semua tak bisa dilakukan lagi dalam waktu lama, rasanya kangen banget..
BalasHapusSemoga pandemi lekas berakhir ya, Mbak. Sehingga anak cucunya eyang bisa kembali berkumpul di rumahnya, lebih sering lagi. Agar beliau berdua bahagia :)
Eyang memang seperti pilar ya Mba, can relate dgn kalimat ini. karena akupun ngerasa setelah eyang putriku berpulang, mudik tak lagi sama
BalasHapusSelamat IdulFitri yaaa
semoga ALLAH terima semua amal ibadah kita.
Aamiinnn!
Hal yang menyenangkan memang ya, Kak Mit, kalau tiba-tiba kita jadi menyukai hal-hal yang biasanya kita kurang sukai. Menyenangkan juga kebiasaanya ke Pasar Kaget, menyambut hari raya seakan jadi tambah meriah ya.
BalasHapusTernyata hampir sama juga kalau lebaran, pasti ada bakso dan minuman bersoda, eh kalau mie ayam saya belum pernah sih :D
Kegiatan bersama Eyang mirip-mirip sama masa-masa kecilku bersama kakek. Rasanya seperti sangat disayang kalau sedang quality time, terutama kalau lagi berbagi makanan favoritnya. Jadi kangen menjadi anak-anak kecil lagi.
Para orang tua memang terlihat sekali senang dan bahagia kalau bertemu anak dan cucunya ya, Kak Mit. Mood dan perasaan mereka selalu meningkat banyak, dan momen lebaran yang sering dijadikan kesempatan. Namun semoga, kesempatan untuk berkumpul bersama selalu ada tanpa menunggu momen hari raya tiba ya.
Selamat Idulfitri juga, Kak Mit dan keluarga.
Cinta sampai menua. Luar biasa sekali ya. Saya juga ingin mempunyai episode romantis seperti itu.
BalasHapusBtw, soal mandi, hihihi. Saya jadi geli sendiri mengingat sibuknya saya kalau itu terjadi. menjadi Komando mandi yang super sibuk. Tapi biasanya saya siasati dengan mengatur sebagian untuk mandi besar pada sorenya agar giliran mandi lebih cepat.
kakek nenekku udah abis
BalasHapus3 bulan lalu, nenekku berpulang
sedih juga, terbaring lemah di kasur
tahun lalu masih bisa merasakan idul fitri meski di kasur, dikunjungi anak cucunya
tahun ini beliau gak ada
kami kehilangan
Ngomongin eyang memang membuat haru ya. Apalagi ketika ada banyak kenangan indah yang pernah tercipta. Kebayang banget eyang pasti ingin bertemu dengan anak cucu cicit nya lagi. Semoga eyang selalu sehat ya
BalasHapusMbah-mbahku dari kedua orangtua sudha tiada. Biasanya kami mudik karena ingin berjumpa mereka. Tapi aku tetap rindu untuk pulang kampung walau mereka sudah tiada. Karena ibuku pindah ke kampung, maka saat mudik, tentu kini tujuannya adalah bertemu orangtua.
BalasHapusAamiin,semoga eyang sehat selalu, berumur panjang dan diberikan waktu yg penuh suka cita bersama anak cucunya
BalasHapusMasyaa Allah, tulisan ini mengandung bawang. Aku udah nggak punya eyang sama sekali. Semua sudah meninggal. Jadi memang ortu udah nggak mudik rutin seperti dulu. Kangen sekali, apalahi sama MBah putri yg sempat aku tinggal bareng sewakt S1. Duh, jadi sedih
BalasHapusSaya setuju sekali, perihal bagian Eyang Uti menjadi pilar kekompakan keluarga.
BalasHapusKarena memang begitu adanya, ketika hari raya, alasan terpenting dari mudik adalah untuk berkumpul dengan keluarga, serta menjaga tali silaturahmi dengan para orang tua maupun dengan kakek nenek di kampung.
Seperti di keluarga saya, sungguh sangat kontras bedanya hari raya antara selama eyang uti masih ada dengan eyang uti sudah tidak ada. Rasanya ada yang kurang saja, selain itu beberapa keluarga juga tidak lagi mudik menjadi sebuah keharusan karena eyang sudah tiada. Jika pun merekka mudik, mudiknya ketika hari bebas saja,, tidak terpaku pada hari raya.
Ada banyak eyang yang kuridnukan di kampung halaman
BalasHapusBahkan nenek dari Mama juga masih sehat banget
Begitu juga dengan nenek dari suami
Sayangnya pandemi
Entah kapan memeluk mereka lagi
Aku Jadi Rindu Mbah putriku yang merawatku selama kuliah S1. Yang sampe aku disuruh pulang terus waktu S2 dan beliau minta temenin tidur. Sampai akhirnya meregang nyawa di sampingku yg lembur ngerjain paper. Aku rinduuuuuuu
BalasHapusMasya Allah, cinta eyang begitu romantis ya...
BalasHapusSemoga eyang sehat selalu dan bisa melihat anak cucunya berkumpul bersama lagi dalam keadaan sehat.
Tradisi pergi ke pasar kaget setiap malam takbirannya cukup unik Belanja dalam keadaan gelap seperti itu harus teliti dan hati-hati ya, Mbak.
Semoga pandemi ini lekas berakhir ya Mbak agar keluarga yang tak bisa bersilaturahmi secara langsung bisa terobati rindunya. Terutama yang sudah sepuh karena pasti mereka sangat merindukan anak dan cucunya.
BalasHapusMomen lebarannya, bikin aku kangen pas msh bisa lebaran dulu, zaman kecil :).
BalasHapusUntuk kakek dan nenek, jujurnya aku ga ngerasain lama. Mereka meninggal semua dr aku kecil. Malah nenek dari pihak mama, meninggal pas mama umur 2 THN. Mama aja ga Inget seperti apa ibunya dulu.
Kakek nenek dari suami, aku jg ga kenal. Semuanya udh meninggal pas aku nikah dgn suami. JD ga ada sih komen2 lebaran Ama kakek nenek.
Tp doaku sama mba. Aku selalu minta kalo ortuku dan kluargaku diksh umur panjang supaya kami bisa ketemu lagi selesai pandemi :(. Aku udh 3 THN ga balik ke Medan . Rencana itu 2020 Kmrn, apa daya malah pandemi Ampe skr :(