Mendobrak Stigma Kusta dan Down Syndrome, Lepas Jerat Tali Diskriminasi
Pada Rabu, 30 Maret 2022 lalu aku berkesempatan untuk mengikuti acara live streaming di Youtube Ruang Publik KBR yang dipersembahkan oleh NLR Indonesia. Tema diskusi yang dibahas menarik perhatianku bertajuk "Lawan Stigma untuk Dunia yang Setara".
Diskusi ini dipandu oleh Ines Nirmala dengan menghadirkan dua narasumber yaitu dr. Oom Komariah, M.Kes yang merupakan Ketua Pelaksana Hari Down Syndrome Dunia (HDSD) sekaligus perwakilan dari Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) dan Uswatun Khasanah sebagai Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) sekaligus perwakilan dari NRL Indonesia.
Diskusi berlangsung selama 60 menit mulai dari jam 09.00 - 10.00 WIB ini memberi wawasan baru buatku tentang penyakit kusta, Down Syndrome, stigma dan diskriminasi yang selama ini diterima orang-orang yang menderita kusta dan anak dengan Down Syndorme. Tidak hanya itu, dalam diskusi pun ada cerita pengalaman serta perjuangan dalam menghadapinya stigma yang selama ini diterima.
Sebelum menceritakan isi diskusinya pada pagi hari itu, sebaiknya kita berkenalan dulu tentang Kusta dan Down Syndrome. Pertama, yuk kita mengenal lebih dekat tentang kusta.
Apa itu Kusta dan Ada Berapa jenis Kusta?
Kusta merupakan penyakit menahun yang disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium leprae. Kondisi ini dapat menyerang kulit, mata, hidung dan saraf perifer. Meskipun termasuk penyakit menular, tapi kusta dapat disembuhkan dan tanpa resiko kecacatan jika pasien kusta segera mendapatkan penanganan medis yang tepat.
Terdapat dua jenis kusta yaitu kusta basah dan kusta kering. Adapun perbedaan kusta basah dan kering adalah sebagai berikut:
1. Kusta kering (Pausi Basiler)
Kusta kering memiliki ciri adanya bercak putih yang mirip panu, tapi agak kemerahan. Jumlah bercak putih kemerahan pada kulit yang mati rasa ada satu hingga 5. Kerusakan saraf hanya di satu tempat, tapi saat dilakukan pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kuman kusta (bakteri tahan asam negatif). Pengobatan dapat dilakukan selama 6 bulan.
2. Kusta basah (Multi Basiler)
Kusta basah memiliki ciri yang sama dengan kusta kering, bedanya pada kusta basah memiliki jumlah bercak putih kemerahan pada kulit yang mati rasa lebih dari lima. Terdapat lebih dari satu kerusakan saraf tepi. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan kuman kusta (bakteri tahan asam positif). Pengobatan yang dilakukan selama 12 bulan.
Saat penderita kusta basah tidak segera diobati, kusta dapat menulari orang lain lewat pernafasan maupun kontak kulit yang lama. Meskipun ada resiko seperti itu, tidak semua orang dapat tertular kusta dengan mudah sementara yang sudah tertular pun bisa sembuh sendiri jika memiliki daya tahan tubuh yang baik.
Jadi memang salah satu faktor penyebab seseorang beresiko besar terinfeksi kusta yaitu kondisi daya tahan tubuh dari masing-masing orang.
Perlu digaris bawahi juga kalau kusta tidak menular melalui alat makan atau pun makanan dari pasien kusta, sehingga kita tidak perlu bertindak diskriminatif pada orang-orang dengan kusta. Apalagi kusta tidak mudah menular dengan cepat melalui kontak langsung dan pasien kusta juga dapat sembuh bila segera ditangani. Jadi, tidak ada yang namanya kusta itu penyakit keturunan, kutukan, dosa, atau azab.
Stigma tentang kusta yang salah kaprah itu perlu dibenahi agar kita tidak perlu sampai menjauhi penderitanya. Malahan seharusnya kita memberi dukungan positif pada orang-orang dengan kusta agar dapat lekas sembuh dan pengobatannya berjalan dengan baik sebab dukungan sekecil apa pun dapat membantu bagi proses penyembuhannya juga.
Pengalaman Uswatun Khasanah untuk Sembuh dari Kusta
Mbak Uswa sebagai Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) dan alhamdulillah sekarang sudah sembuh berbagi cerita dalam acara live streaming pagi itu. Mbak Uswa menceritakan pengalamannya berjuang sembuh dari kusta saat usianya menjelang 15 tahun.
Mbak Uswa saat itu menderita kusta basah sehingga membutuhkan pengobatan dengan durasi 12 bulan yang dilakukan gratis di Puskesmas.
Mbak Uswa harus rutin mengkonsumsi obat yang diresepkan dokter, mengikuti saran dan anjuran dokter, menjaga pola makan dengan makanan yang bergizi serta menjaga pola istirahat yang cukup dan tidak lupa rutin berolahraga. Selain itu, Mbak Uswa juga menghindarkan diri dari hal-hal yang memicu reaksi seperti meminimalisir pikiran negatif yang kemudian dialihkan dengan pikiran positif dan fokus pada tujuan cita-cita yang ingin diraih sehingga Mbak Uswa lebih percaya diri dan semangat untuk sembuh dari kusta.
Tidak hanya usaha yang dilakukan sendiri oleh Mbak Uswa dari dalam dirinya, ternyata dukungan dan peran keluarga dalam ikhtiar Mbak Uswa menuju sembuh pun memiliki pengaruh yang besar. Mbak Uswa merasa kembali bersemangat dan menjadi positif sebab ada keluarga yang senantiasa mendampingi Mbak Uswa sampai sembuh.
Mbak Uswa pun bercerita tentang usahanya melawan stigma-stigma serta mitos-mitos salah yang terlanjur beredar di masyarakat dengan menunjukan kesembuhan dari kusta yang diperjuangkannya. Penyebab stigma kusta muncul karena ada orang-orang yang belum teredukasi dengan baik tentang penyakit kusta. Padahal kusta pun bisa sembuh dan Mbak Uswa sudah membuktikannya.
Selain membahas tentang kusta dan menyimak pengalaman Mbak Uswa untuk sembuh dari kusta, diskusi pagi itu pun membahas Down Syndrome dan pengalaman dokter Oom yang memiliki anak Down Syndrome.
Sebelum lebih jauh menyimak cerita dokter Oom, yuk kenalan dulu dengan Down Syndrome.
Apa itu Down Syndrome?
Down Syndrome merupakan kelainan genetika yang dialami oleh seseorang karena memiliki jumlah kromosom yang melebihi jumlah daripada pada umumnya. Setiap manusia memiliki kromosom berjumlah 46, sementara orang yang mengalami Down Syndrome memiliki kelebihan kromosom sehingga jumlah yang dimiliki adalah 47 kromosom.
Kelainan kromosom ini disebut juga trisomi 21 atau adanya kelebihan jumlah pada kromosom nomor 21 yang berjumlah tiga, sementara pada umumnya orang hanya memiliki dua.
Ini yang perlu diketahui kalau Down Syndrome bukanlah sebuah penyakit, sehingga tidak bisa diobati. Namun, Down Syndrome dapat dibantu dengan terapi dan stimulasi sejak awal kelahiran sehingga orang-orang dengan Down Syndrome dapat menjalani kehidupan normal.
Penting diketahui pula kalau orang-orang dengan Down Syndrome rentan dengan penyakit karena memiliki sistem imun yang kurang optimal. Hal itu terjadi akibat kelebihan kromosom yang dimilikinya. Jadi, perlu dilakukan screening kesehatan sejak awal kelahiran agar mendapat penanganan yang tepat.
Meskipun tidak dapat diobati karena memang bukan penyakit, deteksi dini sudah dapat dijalankan. Apalagi perkembangan teknologi saat ini sudah kian maju sehingga Down Syndrome dapat dideteksi sejak janin dalam kandungan melalui serangkaian tes yang dilakukan. Adapun tes yang dapat dilakukan oleh ibu hamil adalah sebagai berikut:
- Tes Amniocentesis merupakan tes yang dilakukan dengan cara mengambil cairan ketuban kemudian diteliti agar didapatkan hasil adanya kelainan kromosom atau tidak pada janin. Tes amniocentesis dilakukan pada kehamilan beresiko tinggi, misalnya saat sang ibu berusia di atas 35 tahun dan memiliki riwayat keluarga dengan kelainan genetik. Tes ini sedikit beresiko pada kehamilan tertentu.
- Tes USG (ultrasonografi) dapat mendeteksi potensi Down Syndrome dengan mengukur ketebalan tengkuk janin. Jika lebih dari tiga milimeter bisa jadi adanya potensi Down Syndrome. Namun, sayangnya tes USG ini tingkat akurasinya hanya 60 persen, sehingga perlu ketelitian tinggi.
- Tes Non Invasive Prenatal Testing (NIPT) merupakan tes yang dapat dilakukan semua ibu hamil terlepas dari usianya. Tes ini menggunakan metode analisis dengan sampel darah dari ibu yang sedang hamil 10 hingga 24 Minggu. Tes NIPT akan mengalisis sel DNA dari janin yang ada pada darah ibu. Tes ini dianggap lebih aman bagi ibu dan janin serta hasil pengujiannya pun lebih detail.
Pengalaman dr. Oom sebagai Orang Tua yang Memiliki Anak Down Syndrome
Dokter Oom yang memiliki anak dengan Down Syndrome pun pernah mengalami masa-masa sulit untuk berdamai dengan diri sendiri dan keadaan. Meskipun sudah banyak tau teori tentang Down Syndrome, tapi menerima kondisi dan keadaan anak sendiri yang baru lahir dengan kondisi Down Syndrome tetap tidaklah mudah.
Perasaan sedih disertai dengan kekhawatiran akan masa depan sang anak pun membuat kondisi psikologis dokter Oom sempat drop. Tapi alhamdulillah doktor Oom kembali disadarkan untuk lekas bangkit dari keterpurukan dan pelan-pelan akhirnya menerima kondisi anaknya yang Down Syndrome.
"Cepat cari komunitas, cepat ambil tindakan, datang ke klinik tumbuh kembang dan menemui dokter anak sebab anak-anak Down Syndrome akan punya penyakit penyerta. Dengan begitu akan cepat dapat penanganan segera yang tepat."
Itulah pesan dokter Oom pada para orang tua dengan anak Down Syndrome.
Komunitas yang berhubungan dengan Down Syndrome ini penting sebagai tempat para orang tua bisa saling berbagi informasi, bercerita hingga mendapat dukungan dari para orang tua lainnya yang juga memiliki anak Down Syndrome. Dengan berbagi informasi itu pun, para orang tua dengan anak Down Syndrome bisa tau kalau anak-anak Down Syndrome pun bisa punya keistimewaan di banyak bidang. Mungkin akan ada yang pintar berenang, bermain musik hingga pintar dalam akademis.
Stigma yang Sering Dihadapi Anak Down Syndrome dan Tantangan Orang Tua dengan Anak Down Syndrome
Salahnya pemahaman sehingga memunculkan stigma kalau Down Syndrome itu adalah penyakit kejiwaan, dikatakan idiot serta muncul anggapan bahwa anak-anak Down Syndrome tidak bisa apa-apa. Padahal Down Syndrome pun bisa melakukan aktivitas seperti pada umumnya.
Kurangnya informasi dan pengetahuan tentang Down Syndrome membuat para orang akhirnya memilih menyembunyikan kondisi anak mereka yang memiliki Down Syndrome. Akhirnya anak-anak DS ini tidak mendapat intervensi diri, tidak mendapatkan stimulasi yang menyebabkan mereka justru tidak bisa apapun; berjalan terlambat dan berbicara pun terlambat.
Berbahayanya, stigma ini pun justru ikut hadir dari orang terdekat dan keluarga. Anak-anak Down Syndrome dijauhkan, ditelantarkan hingga dapat memicu perceraian orang tua juga.
Meskipun makin ke sini, orang-orang mulai terbuka akan informasi tentang Down Syndrome dibandingkan zaman dulu sehingga pelan-pelan stigma ini mulai bisa berkurang.
Mendobrak Stigma Kusta dan Down Syndrome dengan Edukasi dan Kegiatan Positif yang Dilakukan
Dari hasil pembahasan yang disampaikan oleh Mbak Uswa dan Dokter Oom aku mendapatkan kesimpulan kalau perlu adanya edukasi pada masyarakat lewat berbagai media. Misalnya lewat sosialisasi di tingkat RW, seminar atau webinar, diskusi publik yang membahas detail tentang penyakit kusta dan Down Syndrome sehingga masyarakat menjadi tercerahkan.
Seperti yang dilakukan oleh NLR Indonesia yang mengadakan edukasi lewat seminar. Sementara itu Persatuan Orang Tua Anak dengan Down Syndrome (POTADS) memberikan edukasi kepada para orang tua, salah satunya dengan memberikan paket new born lewat kerja sama dengan rumah sakit-rumah sakit. Paket ini akan sangat berguna bagi orang tua yang memiliki bayi Down Syndrome. Apalagi paket itu berisi buku informatif lengkap tentang Down Syndrome termasuk tentang terapi dan informasi kesehatan tentang screening penyakit yang menyertai anak-anak Down Syndrome.
Selain itu, POTADS pun memberikan edukasi lewat seminar bagi para orang tua dan mengadakan pelatihan di Rumah Ceria Down Syndrome yang mengarahkan potensi anak-anak Down Syndrome lewat berbagai kegiatan di bidang musik, olahraga, hingga kuliner. Edukasi yang dilakukan POTADS lewat acara-acara yang dilakukan dengan menampilkan kemampuan-kemampuan anak-anak Down Syndrome seperti pementasan musik, tari, hingga peragaan busana.
Informasi dan sosialisasi yang diberikan pada masyarakat penting untuk memberi pemahaman yang benar tentang penyakit kusta dan Down Syndrome sehingga tidak ada lagi jerat tali diskriminasi lewat stigma-stigma yang selama ini kerap hadir di tengah masyarakat.
Apalagi stigma ada karena ketidaktahuan masyarakat tentang kusta dan Down Syndrome sehingga melahirkan berbagai pandangan yang hanya berdasarkan mitos dan pengetahuan terbatas. Hal ini yang kemudian menimbulkan diskriminasi pada pasien kusta, orang-orang yang pernah menderita kusta (OYPMK), Down Syndrome, dan penyandang ragam disabilitas lainnya.
Jika berbagai pihak saling bekerja sama dan mulai peduli dimulai dari diri sendiri minimal, aku yakin kita akan mencapai dunia yang setara tanpa stigma dan diskriminasi lagi.
"Tunjukan pada dunia, kita bisa melawan stigma dimulai dari diri sendiri kemudian buktikan. Contohnya, seperti yang dilakukan Mbak Uswa dalam melawan stigma dengan semangatnya untuk sembuh. Jangan sedih dan minder. Harus tetap semangat! Ambil ilmunya, harus banyak bertanya, dan mencari informasinya. AKU ADA, AKU BISA!" (dr. Oom Komariah, M.Kes)
Jadi, yuk kita lepas jerat tali diskriminasi dan stigma dimulai dari diri kita sendiri. Penting diingat kalau kita semua adalah manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang setara dan memiliki hak yang sama untuk hidup yang layak tanpa diskriminasi.
Sumber referensi tulisan:
Livestream Youtube Ruang Publik KBR
Tempo
Kompas
Media Indonesia
Web Rumah Sakit Sardjito
Website FK UI
Orang yang Pernah Menderita Kusta dan penyakit2 lainnya seperti yang mbak tuliskan di artikel ini, juga punya hak yang sama dengan kita ya, diterima dengan baik dan berinteraksi di tengah-tengah masyarakat tanpa diskriminasi.
BalasHapusWah semoga kita di jauhkan dari penyakit sejenis, penyakit seperti ini khususnya yang memang membutuhkan ketelitian dan perawatan khusus. salam sehat untuk kita semua
BalasHapusInformasi seperti ini harus terus berkelanjutan memang, agar makin banyak yang paham tentang kusta, sehingga dapat mendukung untuk segera menjalani pengobatan saat terlihat adanya gejala
BalasHapusStigma kaya gini memang harus diperangi nih, kalo gak kasian kan nanti jadi ketimpangan, buktinya banyak kok penderita kusta dan DS yang sukses berkarya dan produktif
BalasHapusTahun lalu aku ikutan webinar dari KBR tentang kusta juga mbak. Benar-benar bisa membuka mata kita, bahwa kusta itu bisa dicegah dan diobati.
BalasHapusterima kasih ilmu barunya mba, pagi-pagi sudah dapat ilmu tentang down syndrome, ternyata ini memang bukan penyakit ya, berarti kelebihan 1 kromosom itu kalau diterapi sedari kecil bisa hilang dan normal kembali ya mba Mit jadi 46 kromosomnya?
BalasHapusSetauku tidak bisa mbak, krn down syndrome adalah kelainan genetika. Jadi ditangulanginya dengan terapi.
HapusMungkin lebih kayak bisa dideteksi potensi apakah ada resiko untuk memiliki kelainan genetika sejak janin masih dalam kandungan sedari yang aku baca.
Nah, maksudnya normal yang aku bahas adalah kalau anak-anak down syndrome pun bisa berkegiatan normal layaknya kita semua mbak. Bahkan ada yang pintar dalam akademis dan berbagai bidang juga.
Selama ini stigma di dalam masyarakat kan kalau anak² down syndrome tidak bisa apa-apa, padahal itu sangat keliru pemahamannya.
Terimakasih sharingnya terutama tentang sakit kusta ternyata tidak mudah menular ya, selama ini pemahaman di masyarakat justru sebaliknya.
BalasHapusSeneng banget karena sosialisasi kesetaraan untuk penderita kusta maupun yg sudah sembuh dan juga down syndrom dilakukan secara berkelanjutan. Dengan begini, makin banyak yang mengerti tanpa terikat paham yg sifatnya mitos.
BalasHapusSeringkali msh ad stigma seperti ini di masayarakat mengenai kusta, sosialisasi sprti sngt bermanfaat untuk mengubah stigma tersebut
BalasHapusIsu tentang kusta dan downsyndrome emang masih belum begtu banyak diiikentahui. Dengan banyaknya postinga ini semoga semakin banyak masyarakat yang mulai aware.
BalasHapusSepakat nih harus ada edukasi tentang kusta dan down syndrome pada masyarakat. Pastinya agar ada insight yg bisa membuka mindset masyarakat bahwa penderita kusta dan down syndrome tidak harus dijauhi. Mereka juga punya kesempatan hidup yang sama dengan yg lainnya.
BalasHapusSeru banget acaranya... Bukan hanya nambah wawasan tentang kusta dan down syndrom, tapi menginspirasi juga pembicaranya...
BalasHapusEmang nggak bisa simungkiri lagi, stigma tentang penderita kusta dan down sindrome di masyarakat ini emang ngga bagus banget yaaa.. huhu. Semoga semakin banyak edukasi untuk mengedukasi masyarakat tentang hal ini yaa
BalasHapusMasih saja ya stigma buruk kusta itu melekat
BalasHapusEdukasi dan sosialisasi padahal tidak sedikit untuk diikuti dan dilaksanakan
Ah masyarakat memang begitu...
Duh bener banget inii, stigma negatif masih dimana2 bahkan banyak yg kehilangan pekerjaan karena stigma ini
BalasHapusPerjalanan masih panjang ya untuk memperjuangkan teman-teman penderita kusta dan down syndrome. Tapi semoga kegiatan seperti ini semakin sering digelar sebagai edukasi bahwa mereka juga punya hak yang sama
BalasHapusNah, ternyata kusta merupakan penyakit yang masih dapat disembuhkan ya. Beda halnya dengan down syndrome yang merupakan bawan dari lahir karena kelebihan kromosom namun bisa diatasi dengan terapi. Orang2 perlu memahami ini karena di luar sana masih banyak yang memberikan stigma negatif kepada mereka yang mengidap kusta dan juga down syndrome padahal mereka punya hak yang sama seperti kita
BalasHapusYes kak, memang perlu banget sih adanya edukasi pada masyarakat lewat berbagai media. Kita juga bisa membantu untuk memberikan edukasi pada lingkungan keluarga atau orang terdekat mengenai hal tersebut.
BalasHapusTerima kasih mba. Tulisan ini akan membantu masyarakat untuk menerima anak anak Downsyndrom dan penyandang kusta. Saya sendiri merupakan orangtua dengan anak downsyndrome yang tau gimana rasanyaversamai mereka
BalasHapusSama-sama, Mbak. Terima kasih juga mbak atas perjuangannya membersamai ananda. Semoga mbak, ananda, dan keluarga sehat selalu. Tetap semangat ya, Mbak. Aku harap udah gak akan ada lagi diskriminasi pada anak2 DS karena mereka memang anak yang istimewa :)
Hapus